KUALA TUNGKAL – Hari Raya Idul Adha yang bertepatan dengan hari Jumat di Masjid Darul Falah, Minasa Upa, Makassar, menjadi saksi dari sebuah peristiwa langka dan penuh makna.
Di tengah khutbah Jumat yang menyentuh, umat Islam menyaksikan kepergian seorang dai yang telah menempuh perjalanan spiritual panjang: Ustadz Yahya Waloni wafat dalam keadaan berdakwah, di atas mimbar, setelah menyerukan kalimat tauhid, Jumat (6/6/25).
Dari awal khutbah, Ustaz Yahya tampil tenang dan damai. Tidak seperti biasanya, khutbahnya kali ini lembut, reflektif, dan penuh haru. Suaranya tidak tinggi, tapi menyentuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita semua akan kembali kepada Allah. Dan ketika itu datang, tidak ada yang ditanya kecuali satu: siapa yang kita sembah selama ini?”
Tema khutbahnya adalah “Tauhid sebagai Kunci Keselamatan di Dunia dan Akhirat.”
Para jamaah mendengarkan dengan khidmat. Tak sedikit yang menundukkan kepala, menangis dalam diam.
Di akhir khutbah kedua, Ustaz Yahya menundukkan kepala, kemudian mulai membaca doa:
“Ya Allah, bersihkan hati kami dari syirik kecil, dari riya, dari cinta dunia… Jadikan kami hamba yang ikhlas hingga akhir hayat.”
Setelah doa itu, ia duduk, tangannya bergerak ke arah dada, wajahnya menahan rasa yang berat, lalu dengan perlahan, ia terjatuh dari kursi yang ia duduki.
Kejadian itu membuat suasana masjid seketika berubah, petugas masjid segera menghampiri beliau. Salah satu jamaah yang ternyata seorang perawat medis langsung memeriksa kondisi Ustaz Yahya dan melakukan upaya penyelamatan awal.
Tak lama kemudian, atas inisiatif cepat bersama, beliau dilarikan ke rumah sakit terdekat yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari masjid.
Segala usaha medis telah dilakukan, namun Allah lebih mencintainya. Ustaz Yahya Waloni wafat dalam keadaan paling indah yang bisa dibayangkan oleh seorang pendakwah: di hari Jumat, pada Hari Raya Idul Adha, setelah menyampaikan khutbah Jumat, di atas mimbar rumah Allah.
Ustaz Yahya bukan sosok asing dalam dakwah, ia memulai hidup dalam tradisi Kristen dan pernah menjadi pendeta serta tokoh pendidikan di lingkungan gereja. Namun gejolak batin membawanya dalam pencarian panjang menuju Islam.
Perjalanannya tidak mudah. Ia kehilangan kenyamanan, status, bahkan hubungan pribadi. Ia sempat mengalami penolakan dan tekanan dari berbagai arah. Tapi dari situ, ia membangun kembali hidupnya sebagai seorang Muslim, lalu menjadi dai yang dikenal di berbagai daerah.
Dakwahnya dahulu keras dan lantang, bahkan menimbulkan kontroversi. Ia pernah dijerat hukum karena ujaran yang dianggap melampaui batas, tapi perjalanan hidup mengubahnya. Sakit, ujian, dan keheningan memperhalus hatinya.
Di akhir-akhir hidupnya, ia menjadi lebih lembut, lebih dalam, lebih mengajak dari pada menyerang. Ia mulai sering membahas keikhlasan, tauhid murni, dan pentingnya menyampaikan Islam dengan kasih sayang.
Tidak banyak orang diberi akhir seperti ini, wafat setelah berdakwah, di mimbar, di hari Jumat, saat hari raya, dalam khutbah tentang tauhid. Itu bukan kebetulan, itu kemuliaan yang hanya Allah pilihkan bagi hamba yang dikehendaki-Nya.
“Akhir yang baik bukan milik orang sempurna. Tapi milik siapa saja yang tulus ingin pulang kepada Allah.”
Beliau ini pernah juga berdakwah di Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat tepatnya di Masjid Agung beberapa tahun silam.**
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Lintastungkal
Halaman : 1 2 Selanjutnya