Sebuah Tindakan, Banyak Pertanyaan
Tindakan Danrem Lilawangsa di Aceh yang membubarkan demonstrasi massa yang mengibarkan Bendera Bulan Bintang dan meneriakkan kata “merdeka” telah memantik kegelisahan nasional. Peristiwa ini bukan sekadar soal ketertiban umum, melainkan menyentuh urat saraf sejarah panjang hubungan Aceh dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di tengah luka kolektif akibat bencana besar yang baru melanda Aceh, pendekatan koersif justru menghadirkan pertanyaan serius:
apakah negara sedang menyelesaikan masalah Aceh, atau justru mengulang kesalahan sejarahnya sendiri..?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seruan agar persoalan ini diselesaikan melalui dialog bukan tanpa alasan. Aceh bukan daerah biasa. Ia adalah wilayah dengan status, sejarah, dan perjanjian politik yang diakui secara nasional dan internasional.
Bendera Bulan Bintang: Simbol yang Diakui, Bukan Sekadar Atribut
Perlu ditegaskan secara jujur bahwa Bendera Bulan Bintang bukan simbol yang lahir dari kekosongan hukum.
- Pasca-perdamaian Aceh, simbol-simbol lokal Aceh—termasuk Bendera Bulan Bintang—mendapat ruang pengakuan politik dan kultural.
- Secara historis, Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai tokoh yang membuka ruang rekonsiliasi Aceh secara berani, inklusif, dan berkeadilan.
- Gus Dur pula yang mengukuhkan perubahan status Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)—sebuah pengakuan identitas politik, sejarah, dan spiritual Aceh.
Istilah “Nanggroe Aceh Darussalam” secara harfiah bermakna Negeri Aceh yang Damai, bukan sekadar nama administratif tanpa makna.
Dari Soekarno hingga Helsinki: Janji yang Terus Diulang, Lalu Ditinggalkan
Era Soekarno
Aceh sejak awal kemerdekaan diberi pengakuan khusus karena :
- Perannya dalam mendukung Revolusi Indonesia,
- Kontribusi finansial dan logistik Aceh terhadap Republik,
- Janji politik Soekarno yang menempatkan Aceh sebagai daerah dengan otonomi dan penghormatan khusus.
Era Orde Baru
Janji itu mulai tergerus oleh sentralisasi kekuasaan. Eksploitasi sumber daya alam Aceh tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Dari sinilah benih konflik bersenjata tumbuh.
Perjanjian Helsinki 2005
Perjanjian damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tonggak penting.
Isi pokok perjanjian ini antara lain :
- Pengakuan keistimewaan Aceh,
- Otonomi luas dalam pemerintahan dan ekonomi,
- Pengelolaan sumber daya alam,
- Jaminan identitas politik dan kultural Aceh.
Namun setelah 21 tahun berlalu, banyak poin krusial dinilai rakyat Aceh tidak dilaksanakan secara konsisten. Kekecewaan pun menumpuk, bukan menguap.
Bencana Besar Aceh dan Negara yang Terlihat Absen
Bencana besar yang melanda Aceh sekitar satu bulan terakhir menjadi ujian nyata kehadiran negara. Namun yang dirasakan masyarakat justru sebaliknya :
- Tidak ditetapkannya bencana Aceh sebagai bencana nasional,
- Respons pusat yang dinilai lamban dan minim empati,
- Pernyataan-pernyataan pejabat yang seolah mengecilkan skala tragedi.
Situasi ini memunculkan narasi baru yang berbahaya: negara dianggap mengabaikan Aceh di saat paling genting.
Ketika kemudian muncul informasi bahwa komunitas internasional dan PBB menetapkan bencana Aceh sebagai bencana internasional, hal tersebut justru mempermalukan kedaulatan moral negara sendiri—seolah dunia lebih peduli daripada pemerintah pusat.
Larangan Bantuan Internasional: Sensitivitas yang Salah Tempat
Keputusan Presiden Prabowo untuk menolak atau membatasi bantuan internasional ke Aceh, di tengah kondisi darurat, memperdalam luka psikologis rakyat Aceh.
Dalam konteks hukum internasional dan kemanusiaan :
- Bantuan kemanusiaan bukan ancaman kedaulatan,
- Negara justru diuji dari kemampuannya melindungi rakyatnya, bukan menutup pintu solidaritas global.
Sabang: Free Port yang Terombang-Ambing oleh Politik
Pulau Sabang adalah simbol lain dari inkonsistensi negara.
- Zaman Soekarno: Sabang ditetapkan sebagai Free Port.
- Zaman Soeharto: status itu dihidupkan kembali.
- Era Reformasi: dicabut, ditetapkan, lalu dicabut kembali.
Hingga hari ini, Sabang tidak pernah benar-benar mendapatkan kepastian sebagai Free Trade Zone (FTZ) seperti Batam. Padahal, secara geopolitik dan ekonomi, Sabang adalah gerbang strategis Indonesia di Selat Malaka.
Lalu, Jika Mereka Berteriak “Merdeka”, Salah Siapa..?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan senjata, pembubaran massa, atau stempel makar semata.
Ketika :
- Janji konstitusional diingkari,
- Perjanjian politik dilanggar,
- Hak ekonomi tidak terpenuhi,
- Empati negara absen,
Maka teriakan “merdeka” adalah gejala, bukan sebab.
Solusi Terbaik: Menyelamatkan Aceh, Menyelamatkan Indonesia
Solusi yang paling rasional dan konstitusional bagi semua pihak adalah :
- Dialog politik terbuka dan setara, bukan pendekatan militer.
- Audit nasional atas implementasi Perjanjian Helsinki.
- Penetapan ulang Sabang sebagai FTZ permanen dengan payung hukum kuat.
- Pemulihan kepercayaan rakyat Aceh melalui kebijakan nyata, bukan simbolik.
- Pendekatan kemanusiaan dalam bencana, membuka kerja sama internasional secara terukur.
Aceh bukan beban. Aceh adalah cermin.
Cara negara memperlakukan Aceh hari ini akan menentukan wajah Indonesia di mata generasi mendatang. Jika Aceh terus diperlakukan dengan kecurigaan, maka jangan heran bila jarak emosional itu berubah menjadi jurang politik.**
Penulis : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Lintastungkal






