
Menurut Chriswanto, di abad internet ini persoalan kebangsaan terus mendapat tantangan. Bila dahulu kala, rempah membawa penjajahan Indonesia ke Eropa.
“Kini masalah perebutan sumberdaya, dan Indonesia sebagai negara berpenduduk besar merupakan pasar yang menjanjikan bagi produk-produk asing,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KH Chriswanto mengatakan, globalisasi menempatkan Indonesia sebagai tujuan pengaruh berbagai ideologi. Setiap ideologi, menurutnya melahirkan radikalisme, “Bukan hanya Islam, agama-agama lainnya juga mengalami masalah dengan radikalisme. Bahkan liberalisme yang radikal menghasilkan LGBT hingga hedonisme berupa pemujaan terhadap duniawi,” ungkap KH. Chriswanto.
Persoalannya, Indonesia dengan mayoritas umat Islam, maka radikalisme kerap dilekatkan kepada umat Islam saja,
“Umat agama lain yang minoritas, radikalismenya tidak terlalu diperhatikan,” katanya.
Untuk itu, umat Islam di Indonesia harus terus-menerus menunjukkan kontribusi besar terhadap pembangunan, “Ingat sejak Perang Diponegoro, era pergerakan, hingga perang kemerdekaan, umat Islam dan kalangan pesantren berkontribusi besar dalam memerdekakan Indonesia,” imbuhnya.
Untuk terus menjaga nilai-nilai kebangsaan di lingkungan pondok-pondok pesantren di bawah naungan LDII, DPP LDII mengadakan berbagai seminar kebangsaan.
“Bahkan setiap 17 Agustus, pondok-pondok pesantren di lingkungan LDII menggelar upacara bendera. Sepanjang Agustus para santri mengikuti acara yang diadakan di lingkungan pondok,” imbuhnya.
Penanaman nilai-nilai kebangsaan tak sebatas acara-acara yang bersifat seremonial, wawasan kebangsaan tersebut diajarkan kepada para penyelenggara pendidikan. DPP LDII menggelar Sekolah Pamong Indonesia (SPI), untuk mengedukasi para pengurus yayasan, para guru sekolah dan pesantren, pamong, hingga petugas keamanan dan kebersihan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya