JAKARTA – Pengamat Hukum yang juga kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Leopold Sudaryono mengatakan, pembebasan bersyarat narapidana kasus korupsi sudah sesuai prosedur berdasarkan Undang-undang (UU) baru 22/2022.
“Sudah sesuai Undang-undang (UU) 22/2022,” ujar Leopold Sudaryono melalui gawai, Rabu (7/9/2022).
Ia mengungkapkan, Napi dibebaskan lebih awal karena pemberian dua hak. “ada hak remisi dan hak pembebasan bersyarat,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menyebut, besaran remisi tersebut beragam dan cukup besar. Karena di pemasyarakatan sendiri untuk mengatasi masalah over kapasitas memberlakukan tiga remisi. Yakni, remisi umum, remisi khusus dan remisi kemanusiaan serta remisi tambahan.
“Remisi umum diberikan saat 17 Agustus, remisi khusus diberikan saat hari besar keagamaan dan remisi kemanusiaan diberikan karena narapidana berusia lanjut (75 tahun) atau sakit berkepanjangan,” jelasnya.
“Untuk remisi tambahan diberikan kepada narapidana yang berjasa bagi negara (aktif membantu dapur di lapas),” imbuhnya.
“Selama narapidana menjalani masa tahanan 2/3, maka berhak mendapatkan pembebasan bersyarat,” katanya.
Sementara pakar komunikasi politik (Komunikolog) dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Dr. Emrus Sihombing menyatakan hak untuk pembebasan bersyarat diperoleh melalui pertimbangan yang matang dan komprehensif dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Emrus mengatakan dari perspektif formal atau hukum, sesuai undang-undang itu merupakan hak para terpidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani masa tahanan sebagaimana ketentuan yang ada.
“Bagaimanapun, Kemenkumham dalam hal ini Lapas, pasti telah mempertimbangkan semua aspek baik hukum maupun aspek lainnya seperti perilaku terpidana selama berada di penjara. Kemudian, dari perspektif hak kemerdekaan, program pembebasan bersyarat yang diperoleh mantan sangat wajar,“ kata Emrus.
“Itu hak sesuai undang-undang untuk menikmati udara bebas dan tidak berada di penjara lagi. Karena bagaimanapun, selama sudah menjalani hukuman dan tidak melakukan pelanggaran wajar diberikan. Oleh karena itu, pembebasan bersyarat merupakan hak setelah menjalani hukuman,” ungkap Emrus.
Emrus mengimbau publik bisa melakukan evaluasi terhadap para koruptor yang sudah keluar dari penjara. Ini tidak terkait dengan satu orang koruptor tetapi untuk semua kasus korupsi, siapapun itu.
“Evaluasi perilaku para mantan terpidana korupsi, apakah mereka benar-benar berubah atau tidak. Karena keberadaan para terpidana di dalam penjara merupakan momentum untuk memperbaiki diri. Di dalam penjara dibina dan diberikan banyak nilai-nilai pemasyarakatan yang positif,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Emrus, hak-hak para terpidana korupsi yang telah keluar dari penjara harus diberikan, salah satunya hak memilih dan dipilih.
“Jangan melabeli para narapidana yang keluar dari penjara seolah-seolah selalu salah. Kita belum tentu lebih baik dari mereka. Saya mengimbau masyarakat untuk menerima kembali para mantan terpidana dengan baik,” tutup Emrus. (gin/nas/dam)