KUALA TUNGKAL – Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini kebanjiran pengajuan pemohonan gugatan Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2020. Permohonan diajukan baik secara daring maupun luring.
Per Rabu (23/12/20) malam Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 135 Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada 2020.
Rinciannya PHP untuk pemilihan gubernur sebanyak 7, pemilihan bupati sebanyak 114, sementara wali kota 14.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Permohonan PHPKada ini tercatat melonjak dibandingkan dengan posisi Jumat (18/12/2020) pagi yang hanya sebanyak 21 permohonan.
Jumlah permohonan PHPKada tahun 2020 juga naik signifikan dibandingkan permohonan yang timbul pada pilkada 2017 dan pilkada 2020 yang masing-masing sebanyak 60 dan 72 PHPKada.
MK mencatat salah satu permohonan sengketa diajukan oleh pasangan Calin Wali Kota dan Wakil Wali Sungai Penuh Fikar Azami-Yos Adrino.
Pengajuan gugatan terdapaftar pada Jumat (18/12/20) dengan materi Permohonan Pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Sungai Penuh Nomor 320/PL.02.6-Kpt/1572/KPU-Kot/XII/2020 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sungai Penuh Tahun 2020, tanggal 17 Desember 2020.
Kemudian pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi H. Cek Endra-Ratu Munawaroh.
Gugatan CE-Ratu di website MK terpantau Rabu 23 Desember 2020 pukul 20.05 WIB dalam nomor 134/PAN.MK/AP3/12/2020. Dimana pengajuan gugatan CE-Ratu selaku pemohon dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku termohon.
Dalam catatan lintastungkal.com, CE-Ratu diusung oleh Golkar dan PDI-P.
Dia melawan Bupati Meragin Al Haris berpasangan Abdullah Sani Mantan Wakil Wali Kota Jambi yang diusung oleh PAN, PKS dan PKB dalam Pilgub Jambi.
Namun demikian, rekapitulasi suara KPU Provinsi Jambi menetapkan perolehan suara Al Haris-Abdullah Sani tertinggi dengan 596.621 suara. Sementara Cek Endra-Ratu Munawaroh (CE-Ratu) hanya meraih 585.203 suara atau terpaut 11.418 suara sah.
Untuk diketahui bahwa sengketa atau perselisihan pilkada lazim diajukan oleh pasangan calon kepala daerah yang kalah dalam kontestasi pilkada.
Berdasarkan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada, pihak yang berwenang dalam menyelesaikan perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pilkada memang MK. Hal serupa berlaku untuk pemilihan presiden.
Pihak yang kalah biasanya akan mendalilkan sejumlah temuan kecurangan selama pelaksanaan pilkada ke MK.(*)