Tokoh nasional Said Didu melontarkan peringatan keras tentang kondisi pertanahan nasional yang ia sebut berada dalam status “darurat agraria”. Dalam sejumlah pernyataan yang beredar luas di media sosial, ia mengklaim adanya pola sistematis perampasan tanah rakyat melalui jalur hukum berlapis, dengan memanfaatkan kelemahan administrasi pertanahan dan celah peradilan.
Menurut Said Didu, masyarakat pemilik sertifikat sah disebut dapat kehilangan tanahnya bukan karena kalah secara fisik, melainkan karena dikalahkan secara administratif dan yuridis. Ia menyebut praktik tersebut sebagai bentuk perampokan berbaju hukum, di mana keabsahan sertifikat dapat dipatahkan bukan melalui fakta lapangan, tetapi melalui permainan dokumen.
“Kalau sertifikat bisa kalah oleh rekayasa, itu berarti yang dirampas bukan hanya tanah, tapi kedaulatan hukum negara,” ujar Said Didu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menilai, persoalan agraria hari ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait langsung dengan lemahnya pengawasan administrasi pertanahan dan proses peradilan yang rentan manipulasi. Klaim Said Didu menyoroti dugaan adanya sertifikat ganda, gugatan fiktif di pengadilan, hingga kriminalisasi pemilik tanah sah.
Meski demikian, semua tuduhan tersebut masih bersifat klaim personal dan belum diuji secara hukum. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari institusi negara maupun pihak-pihak yang disinggung dalam pernyataan Said Didu. Redaksi menegaskan bahwa asas praduga tak bersalah tetap berlaku.
Dasar Hukum Agraria Nasional: Apa yang Seharusnya Melindungi Rakyat
Pakar agraria menyebut bahwa sistem hukum Indonesia sejatinya telah menyediakan perlindungan kuat terhadap hak milik rakyat atas tanah, setidaknya secara normatif.
Beberapa regulasi kunci pertanahan nasional antara lain :
1. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3)
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Prinsip ini menegaskan bahwa negara bukan pemilik absolut, melainkan pengelola untuk kepentingan rakyat.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
UUPA merupakan dasar utama hukum agraria. Di dalamnya ditegaskan :
- Pasal 2 ayat (2) : Negara mengatur peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan tanah.
- Pasal 19 : Pemerintah wajib melaksanakan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum.
- Pasal 23, 32, dan 38 : Hak atas tanah wajib didaftarkan, dan sertifikat merupakan alat bukti kuat.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Dalam PP ini ditegaskan :
- Sertifikat merupakan alat bukti hak yang kuat selama tidak dibuktikan sebaliknya.
- Kesalahan administrasi wajib dikoreksi negara.
- Negara berkewajiban menjaga keakuratan data pertanahan.
4. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 tentang Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
Peraturan ini mengatur :
- Mekanisme internal koreksi sertifikat,
- Mediasi,
- Pemeriksaan administratif atas dugaan cacat yuridis.
5. KUHP dan UU Tipikor
Pemalsuan sertifikat tanah masuk kategori :
- Pemalsuan surat (KUHP)
- Penyalahgunaan jabatan (jika melibatkan pejabat)
- Tindak pidana korupsi jika terdapat unsur keuntungan pribadi atau kerugian negara.
Ketika Sertifikat Tidak Lagi Menjamin, Negara Dipertanyakan
Para ahli menilai, jika praktik yang diklaim Said Didu terbukti, maka masalahnya bukan sekadar konflik agraria, tetapi keruntuhan sistem hukum pertanahan.
“Dalam negara hukum, sertifikat adalah benteng terakhir kepastian. Jika benteng itu runtuh, maka siapa pun bisa menjadi korban,” ujar seorang akademisi hukum agraria.
Reformasi pertanahan dinilai mendesak, mulai dari :
- Audit nasional sertifikat,
- Digitalisasi total data pertanahan,
- Penguatan independensi aparat peradilan,
- Penindakan pidana terhadap mafia tanah tanpa pandang bulu.
Tantangan Negara: Hukum atau Kekuasaan
Pernyataan Said Didu memang masih perlu diuji di ruang hukum. Namun satu hal tidak bisa disangkal: keluhan masyarakat terhadap konflik tanah terus meningkat.
“Negara harus memilih: menjadi pelindung rakyat atau penonton ketika rakyat dirampas haknya,” kata Said Didu.
Hingga kini, publik menunggu jawaban negara — apakah darurat agraria hanya sekadar istilah, atau benar-benar lonceng krisis yang menandai rapuhnya hukum pertanahan Indonesia.**
Penulis : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Lintastungkal






