JAKARTA, 11 Maret 2025 – Kasus sengketa kepemilikan pabrik di Kawasan Industri Jatake, Tangerang, menjadi sorotan karena melibatkan dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, serta penguasaan aset yang bertentangan dengan putusan pengadilan. Hal ini diungkap oleh Ujang Wartono, S.H., M.H., kuasa hukum Akira Takei, seorang pengusaha asal Jepang yang telah berinvestasi di sektor industri kayu. Akira mengalami ketidakpastian hukum setelah asetnya dikuasai pihak ketiga secara ilegal, meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan tetap.
Dalam pernyataannya ke media, Ujang mengatakan bahwa kasus ini bukan hanya tentang sengketa bisnis, tetapi juga mencerminkan masalah lebih besar dalam sistem hukum Indonesia. Ketika putusan pengadilan yang sudah inkracht masih dapat dihambat oleh pihak-pihak tertentu, kepercayaan terhadap sistem hukum pun dipertaruhkan. “Kejadian ini menjadi contoh nyata bagaimana investor asing dapat kehilangan aset mereka akibat lemahnya perlindungan hukum dan ketidaktegasan aparat dalam menegakkan keadilan,” ujar Ujang.
Dari Investasi ke Sengketa
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus berawal pada 1990, saat Akira Takei membeli lahan seluas 4,2 hektar di Kawasan Industri Jatake, Tangerang, untuk mendirikan perusahaan kayu. Dalam rangka menjalankan bisnisnya, ia menunjuk beberapa direktur untuk mengelola operasional perusahaan. Namun, hanya dalam enam bulan, bisnis tersebut mengalami kegagalan akibat pengelolaan yang buruk. Tidak hanya mengalami kerugian, Takei juga harus menanggung utang yang dibuat oleh para direktur tersebut.
“Para direktur itu mengajukan permohonan pinjaman, tapi yang meminjamkan itu sebenarnya Akira Takei sendiri. Dikasihlah modal 90 miliar rupiah. Waktu itu dibelanjakan di Jerman sama di Jepang untuk membeli mesin-mesin produksi. Ternyata tidak jalan juga. Akhirnya terjadi gugat-menggugat,” kata Ujang Wartono.
Proses hukum kasus ini telah melalui berbagai tahapan, mulai dari putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan hingga banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI. Pada akhirnya, gugatan yang diajukan Takei terhadap para direktur dimenangkan Akira dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung, sebagaimana tercantum dalam putusan No. 3295 K/PDT/1996.
Dalam putusan tersebut, para direktur diwajibkan mengembalikan aset perusahaan, pabrik dan 4 unit rumah yang kemudian harus dilelang untuk menutupi utang sebesar Rp31 miliar ditambah bunga sejak 1993. Namun, ketika proses eksekusi mulai dijalankan, muncul pihak ketiga yang mengaku sebagai pemilik sah pabrik tersebut.
Penulis : Yoga Pranadipa
Editor : Redaksi
Sumber Berita : Begawan Media Center
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya