Paparan ini dibuat sekedar untuk sedikit berbagi pengalaman tentang nilai-nilai spiritual yang terasa dalam upaya menahan diri dari serangan para buzzer setelah berulang kali mengalaminya, sejak dua tahun lalu hingga mencapai puncak saat setelah merilis ulasan tentang masalah masyarakat Pulau Rempang dan kemarin soal Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk-2 (PIK-2) yang marak dengan aksi dan deklarasi GRAO (Gerakan Rakyat Anti Oligarki) yang semula hendak dilakukan di Desa Kohod, Pakuaji pada 8 Januari 2025.
Rencana aksi dan deklarasi GRAO yang dihadang oleh kelompok aksi tandingan di kedua gerbang gerbang Desa Kohod, akhirnya acara GRAO hanya dapat dilakukan di luar gerbang Desa Kohod, di wilayah Kramat, Sukawali, Tangerang, Banten. Tampaknya, akibat dari pemberitaan sebelumnya yang cukup gencar lalu disusul oleh ulasan berikutnya seusai pelaksanaan acara, sejak itu praktis semua saluran komunikasi pribadi — whatsapp, facebook — menjadi macet tidak bisa bergerak serta tidak dapat untuk digunakan seperti biasanya, meskipun kemudian telah diupatlyakan dengan berbagai cara. Yang pasti hikmahnya, kita pun menjadi mengerti bahwa untuk segera mengatasi putusnya informasi, komunikasi dan publikasi lenih lanjut dapat dilakukan dengan cara mengganti nomor kontak sementara yang baru. Walaupun untu sejumlah nomor kontak yang pernah ada terpaksa harus direlakan hilang. Toh, melalui jaringan yang cukup luas, nomor kontak yang hilang itu bisa segera untuk didapatkan kembali, atau bahkan justru bisa menambah luasnya jaringan komunikasi kita berikutnya. Begitulah kesan perang dalam senyap melawan buzzer melalui media sosial berbasis internet di negeri ini.**
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis : Jacob Ereste
Editor : Redaksi
Sumber Berita : Lintastungkal