Provinsi Jambi memiliki cadangan batubara terbesar di Pulau Sumatera.
Jika pada tahun 2009 produksi baru tercatat 2.690.971 ton, enam tahun kemudian meningkat menjadi 4.874.877 ton.
Hari ini batu bara Jambi tercatat sebagai penyumbang devisa yang cukup besar bagi negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan potensi batubara yang belum dieksplorasi sebanyak 788,65 juta ton, Jambi adalah salah satu lumbung batubara nasional.
Ironisnya, meski harga emas hitam acuan saat ini tinggi, pengaruhnya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak signifikan.
Harga naik, produksi meningkat. Namun, batu bara sifatnya padat alat, bukan padat karya.
Jadi efeknya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak terlalu berpengaruh. Namun, efek domino tetap ada. Dengan meningkatnya produksi, terjadi peningkatan permintaan terhadap keperluan alat.
Pengusaha daerah yang bergerak di bidang alat berat sejak harga batu bara naik mendapatkan efek positif.
Selain itu, pengusaha logistik seperti makanan dan bahan bakar ikut merasakan manisnya harga si batu hitam.
Pemprov Jambi memang dituntut untuk mengambil peran aktif. Pasalnya, batu bara menjadi komoditas yang bisa diandalkan mendongkrak kesejahteraan masyarakat setelah masa kejayaan perkayuan, sedangkan pada sektor perkebunan ketimpangan kepemilikan antara perusahaan dan masyarakat pada sawit dan karet yang mendominasi ekonomi daerah. Tetapi secara luas, efek ekonominya tidak dirasakan Jambi.
Sementara saat Itu karena kebanyakan perusahaan bukan milik pengusaha lokal. Akibatnya perputaran uangnya tidak di Jambi.
Meski di atas kertas, naiknya harga batu bara memengaruhi produk domestic bruto (PDRB), namun emas hitam di Jambi belum banyak berperan dan memberikan manfaat bagi rakyat.
Penyebabnya, karena kebijakan pemerintah pusat yang tidak menguntungkan daerah. Di mana pemerintah daerah tidak bisa mengatur hingga mengawasi pengelolaan batu bara.
Meski seharusnya, kebijakan itu harusnya seimbang antara pusat dan daerah.
Asal muasal masalah ini ketika pemerintah mengeluarkan Surat Edaran (SE) dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Kementerian ESDM Nomor 1481/30.01/DBJ/2020, seluruh provinsi termasuk Kaltim sudah tak memiliki kewenangan dalam pengelolaan minerba.Sejak adanya aturan ini, artinya semua diambil alih pusat.
Untuk diketahui, SE tertanggal 8 Desember 2020 tersebut berisi perihal kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara yang menjelaskan terhitung mulai 11 Desember 2020, kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara beralih ke pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ESDM dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat.
Edaran lain yang menghalangi pemerintah provinsi untuk mengatur tambang batu bara adalah SE Menteri ESDM Nomor: 1482/30.01/DJB/2020 tanggal 8 Desember 2020 perihal Pendelegasian Kewenangan Penerbitan Perizinan Sub Sektor Mineral dan Batu Bara. Dijelaskan bahwa layanan perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara dapat dilayani melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal terhitung mulai 11 Desember 2020.
Tercerabutnya kewenangan pemerintah daerah, ibarat diikatnya tangan dan kaki. Daerah hanya bisa melihat, mendengar, dan berteriak.
Artinya setiap ada persoalan, hanya bisa membuat laporan ke Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, tidak bisa melakukan tindakan apapun.
Termasuk kepada tambang ilegal. Konflik dari Angkutan Batu Bara Realita hari ini : Sejumlah truk pengangkut Batubara merayap melewati ruas jalan nasional melintas di perkampungan bahkan perkotaan di Jambi.
Berjuta-juta ton emas hitam keluar dari Jambi untuk diekspor ke berbagai negara. Dari tambangnya di Sarolangun dan Bungo, Batubara itu diangkut hingga ke kawasan Talang Duku di Muaro Jambi.
Kisruhnya pun berawal dari sini. Ketika ribuan truk batubara ini seolah merampas hak masyarakat akan jalan. Akibatnya, tak terhitung lagi kasus kecelakaan yang terjadi, cacat atau bahkan meninggal dunia.
Provinsi Jambi sebenarnya, telah memiliki Perda Nomor 13 Tahun 2012 tentang larangan operasi yang masih lemah ditegakkan. Aktivitas angkutan batubara yang beroperasi di luar jam ketentuan masih mengular pada siang hari.
Tuntutan masyarakat jelas, Paling tidak pemerintah mengatur ritme angkutannya jam operasi, perlu direvisi atau diberikan saja toleransi pada siang hari dengan jumlah persetiganya, supaya tidak terjadi penumpukan di malam hari.
Para sopir sudah menyadari soal terjadi kepadatan lalin dan dampak lingkungan.
Buktinya sampai sekarang masih ada yang bandel. Pendapatan negara boleh meningkat, tapi harus mempertimbangkan segala risiko yang akan terjadi di tengah masyarakat.
Masalah angkutan batubara, substansi persoalan sebenarnya adalah hak masyarakat sebagai penguna jalan yang terampas atau bahkan tereliminasi. Dalam hal ini pihak yang paling menderita adalah pengguna jalan baik motor, mobil dan angkutan umum.
Halaman : 1 2 3 4 5 6 7 8 Selanjutnya